Kamis, 01 Maret 2012

Nobel Laureat Jepang

Tahun 2010 ini dua warga Jepang mendapat hadiah Nobel dalam bidang kimia: Profesor Eiichi Negishi (75 tahun) dari Universitas Purdue (Amerika Serikat) dan Profesor Akira Suzuki (80 tahun) dari Universitas Hokkaido.
Hadiah Nobel merupakan penghargaan Internasional tahunan yang diberikan komite negara-negara Skandinavia (Swedia dan Norwegia) kepada individu atau organisasi yang berjasa dalam bidang-bidang penting, yaitu fisika, kimia, kesehatan, sastra dan keamanan. Hadiah ini diprakarsai Alfred Nobel, ilmuwan Swedia dan penemu dinamit, tahun 1895. Dalam paket penghargaan Nobel, uang senilai 10 juta kron Swedia juga diberikan kepada pemenang Nobel.
Dari 18 orang Jepang peraih Nobel sejak 1945 empat belas orang diantaranya memenangkan Nobel dalam bidang fisika, kimia dan kesehatan. Untuk tiga bidang ini, Jepang merupakan negara di Asia yang warganya paling banyak meraih Nobel. Peraih Nobel bidang sains dari Jepang: Hideki Yukawa (Fisika, 1949), Sin-Itiro Tomonaga (Fisika, 1965), Leo Isaki (Fisika, 1974), Kenichi Fukui (Kimia, 1981), Hideki Shirakawa (Kimia, 2000), Ryoji Noyori (Kimia, 2001), Masatoshi Koshiba (Fisika, 2002), Kōichi Tanaka (Fisika, 2002), Osamu Shimomura (Kimia, 2008 ), Toshihide Masakawa (Fisika, 2008), Yuichiro Nambu (2009), Makoto Kobayashi (Fisika, 2008), Eiichi Negishi (Kimia, 2010) dan Akira Suzuki (Kimia, 2010).
Apa rahasia Jepang sehingga warganya termotivasi dalam sains?
Sekurangnya ada lima alasan:
  1. Dukungan keuangan untuk penelitian. Dana penelitian dan pengembangan (R & D) yang diberikan Jepang kepada universitas, lembaga penelitian dan perusahaan diperkirakan hampir mencapai 4% dari pendapatan dalam negeri (GDP). Angka ini lebih besar daripada investasi Amerika Serikat (AS), yang belum mencapai 3% GDP
  2. Fenomena ‘oil shock’. Fenomena oil shock adalah langkanya minyak bumi karena embargo yang dilakukan negara-negara Arab tahun 1973. Fenomena ini mendorong Jepang untuk kembali ke bidang sains. Sains dikaji untuk mendukung sejumlah proyek, misalnya Proyek Moonlight untuk konservasi energi, Proyek Sunlight untuk mencari sumber energi baru, dan fusi nuklir. Ellen Frost dalam bukunya For Richer, For Poorer: The New US-Japan Relationship* (1987) mengatakan bahwa 10 tahun setelah oil shock itu, pemerintah Jepang menaikkan dana R&D menjadi 2.8% GDP pada 1986. Padahal dua dekade sebelumnya, dana R&D Jepang cuma 1.2% GDP.
  3. Perusahaan Jepang menanggung hampir 75% dana penelitian. Ini merupakan kebijakan pemerintah karena Jepang tidak memiliki cukup uang. Oleh karena itu tujuan akhir dari penelitian Jepang lebih bersifat industri (komersial).
  4. Ada semacam kejenuhan yang dialami insinyur Jepang. Banyak insinyur Jepang yang lelah ‘hanya’ menerapkan ilmu-ilmu yang diperolehnya dari Barat. Penerapan ilmu-ilmu ini dikatakan Ellen Frost memiliki unsur ‘copycat’ (meniru). Agaknya ini pula citra yang diberikan berbagai negara ke Jepang.
  5. Jepang takut tidak mendapatkan ilmu lagi dari Barat. Kini dunia ilmu memang masih terbuka. Namun Jepang membayangkan betapa sulitnya hidup jika suatu hari teknologi itu musnah, atau tidak lagi mudah didapat. Jalan satu-satunya adalah kembali mempelajari sains.
Lima sebab inilah yang mendorong Jepang kembali mempelajari fisika, kimia, matematika, biologi dan kesehatan. Dan ini terjadi sepuluh tahun setelah fenomena oil shock. Jadi tahun 1986 merupakan masa kebangkitan ilmiah Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar